25.7.12

Memahami Hakikat Suka dan Duka

Memahami Hakikat Suka dan Duka

Betapa menyedihkan melihat kehidupan begini penuh dengan duka dan penderitaan, kekecewaan dan penyesalan, kesengsaraan dan hanya kadang saja diseling sedikit sekali suka yang hanya kadang-kadang muncul seperti berkelebatnya kilat sejenak saja di antara awan gelap kedukaan. Apakah duka itu dan dari mana timbulnya? Jelaslah bahwa duka pun bukan merupakan hal di luar diri kita. Duka tidak terpisah dari kita sendiri dan kita sendirilah pencipta duka! Kita merasa berduka karena iba diri, dan iba diri timbul kalau si aku merasa kecewa karena dirampas apa yang menjadi sumber kesenangannya. Karena merasa di jauhkan dari kesenangan yang mendatangkan nikmat lahir maupun batin, maka si aku merasa iba kepada dirinya sendiri. Pikiran, tumpukan ingatan dan kenangan, gudang dari pengalaman-pengalaman masa lalu, mengenangkan semua hal-hal yang menimpa diri dan memperdalam perasaan iba diri itu. Pikiran seperti berubah menjadi tangan iblis yang meremas-remas perasaan hati, maka terlahirlah duka! Tanpa adanya pikiran yang mengenang-ngenang segala hal yang menimbulkan iba diri, maka tidak akan ada duka. Biasanya, kalau duka timbul, kita lalu melarikan diri pada hiburan dan sebagainya untuk melupakannya. Akan tetapi, hal ini biasanya hanya berhasil untuk sementara saja, karena si duka itu masih ada. Sekali waktu kalau pikiran mengenang-ngenang, akan datang lagi duka itu. Sebaliknya, kalau kita waspada menghadapi perasaan yang kita namakan duka itu, mempelajarinya, tidak lari darinya melainkan mengamatinya tanpa ingin melenyapkannya, maka duka itu sendiri akan lenyap seperti awan tertiup angin. Justeru usaha-usaha dan keinginan untuk menghilangkan duka itulah yang menjadi kekuatan si duka untuk terus menegakkan dirinya.
 Bicara tentang duka tidaklah lengkap kalau kita tidak bicara tentang suka atau kesenangan, karena kesenangan tak terpisahkan dari kesusahan, ada suka tentu ada duka! Justeru pengejaran kesenangan inilah yang merupakan sebab utama dari lahirnya duka! Sekali mengenal dan mengejar kesenangan,berarti kita berkenalan dengan duka, karena duka muncul kalau kesenangan dijauhkan dari kita! Kesenangan mendatangkan pengikatan. Kita ingin mengikatkan diri dengan kesenangan, maka sekali yang menyenangkan itu dicabut dari kita, akan menyakitkan dan menimbulkan duka. Kesenanganlah yang membius kita sehingga kita mati-matian mengejarnya, dan dalam pengejaran inilah timbulnya segala macam perbuatan yang kita namakan baik dan jahat. Dan kesenangan ini pun merupakan hasil karya dari pikiran, yaitu si aku yang mengenang dan mengingat-ingat. Pikiran mengunyah dan mengingat-ingat, membayangkan segala pengalaman yang mendatangkan kenikmatan, maka timbullah keinginan untuk mengejar bayangan itu! Kita tak pernah waspada sehingga seperti tidak melihat bahwa yang kita kejar-kejar itu, bayangan yang nampaknya
amat nikmat dan menyenangkan itu, setelah tercapai ternyata tidaklah seindah atau senikmat ketika dibayangkan, dan pikiran sudah mengejar kesenangan lain yang lebih hebat atau kita anggap lebih nikmat lagi! Maka terperosoklah kita ke dalam lingkaran setan dari pengejaran kesenangan yang tiada habisnya. Kita tidak mau melihat bahwa di akhir sana terdapat dua kemungkinan, yaitu kecewa dan duka kalau gagal, dan bosan yang membawa duka lagi kalau berhasil, dan rasa takut kalau kehilangan.
Dalam keadaan berduka baru kita ingat kepada Allah SWT, minta ampun, minta bantuan dan sebagainya dan semua ini wajar, timbul dari rasa iba diri. Namun ketika kita dalam keadaan senang kita lupa kepada Allah SWT, karena pementingan diri yang berlebihan, mengejar kenikmatan diri sendiri.
Semua ini bukanlah berarti bahwa kita harus menjauhi atau menolak kenikmatan hidup. Sama sekali tidak! Kita berhak menikmati hidup, berhak sepenuhnya! Akan tetapi, PENGEJARAN terhadap kesenangan itulah yang menyesatkan! Ini merupakan kenyataan, bukan teori atau pendapat kosong belaka. Kita harus waspada dan sadar akan kenyataan ini, karena kewaspadaan dan kesadaran dalam pengamatan diri sendiri akan mendatangkan
tindakan langsung tersendiri yang akan melenyapkan semua itu!

11.2.12

Filosofi Hidup

Betapa setiap orang manusia selalu ingin menjadi sesuatu, ingin ada artinya, ingin menonjol, ingin diakui keadaan dan kepribadiannya. Betapa setiap orang manusia haus akan hal ini. Dari seorang anak-anak sampai tua renta, semua membutuhkan perhatian, membutuhkan pengakuan. Semua orang takut akan kehilangan arti dirinya, takut untuk menjadi sesuatu yang bukan apa-apa. Semua orang berlomba untuk menjadi apa-apa, menjadi yang terpenting, terpandai, terkuasa, tertinggi, terbesar. Justeru keinginan inilah yang menimbulkan konflik dalam kehidupan, menimbulkan konflik dan perebutan, persaingan dan permusuhan antara manusia. Justeru keinginan untuk menjadi yang “ter” inilah yang menjauhkan manusia dari Tuhannya. Ingin menjadi sesuatu yang berarti ini pekerjaan nafsu daya rendah. Keinginan nafsu daya rendah ini bagaikan air kotor yang memenuhi botol, sehingga air yang suci tidak dapat memasukinya.

Mungkinkah selagi hidup ini tidak ingin menjadi sesuatu yang menonjol, tidak menginginkan sesuatu yang tidak ada, melainkan menerima apa adanya sebagai anugerah dari Tuhan Yang Maha Kasih? Mungkinkah membiarkan diri kosong dan bersih sehingga cahaya kekuasaan dan kasih sayang Allah SWT dapat memenuhinya? Dengan penyerahan diri, menyerah dengan penuh keikhlasan, penuh kesabaran dan penuh ketawakalan? Mungkinkah selagi hidup ini memiliki kerendahan hati yang membuat kita sadar sepenuhnya bahwa kita ini sesungguhnya “bukan apa-apa”, bahwa yang kita manjakan ini, yang kita namakan “aku” ini hanyalah segumpal darah daging penuh nafsu daya rendah? Mungkinkah membersihkan semua kotoran itu dari jiwa yang ditimbuninya, agar jiwa yang berasal dari Allah SWT itu dapat memperoleh kembali hubungan kontak dengan Dzat yang maha Segalanya? Kecerdikan pikiran jelas tidak akan mampu melakukan ini, karena pikiran hanyalah alat untuk kehidupan jasmari, dan alat inipun sudah bergelimang nafsu daya rendah!

Demikianlah hidup. Semua itu hanya bayangan, seperti awan berarak di angkasa, hanya selewat saja. Segala cita, segala asa, segala kesenangan, hanya selewatan saja. Bukan, bukan itulah hakekat hidup. Semua yang terjadi itu hanyalah permainan nafsu atas badan. Akhirnya, semua itu akan musnah, seperti gelembung-gelembung udara dalam air. Apa yang dicarinya dalam hidup ini? Dan apa yang telah diperolehnya selama ini? Hanya kepahitan, hanya penderitaan lahir batin. Dia tidak perlu mencari apa-apa. Yang dicari itu semua bukan, hanya khayalan kosong belaka, hanya fatamorgana.

Bayangan kesenangan hanyalah muka kembar ke dua dari kesusahan, mereka nampaknya bertolak belakang, namun tak terpisahkan. Apakah dia harus menjadi patah semangat, menjadi mandeg dan mogok, malas melanjutkan kehidupan? Tidak, sama sekali tidak! Bahkan dia harus dapat memperjuangkan kehidupan ini, saat demi saat. Dia harus hidup sepenuhnya, selengkapnya, seutuhnya. Dia akan berjalan terus dengan tegak dan mantap, tak mengharapkan apa-apa di luar jangkauannya, menikmati setiap langkah hidupnya. Apapun yang terjadi adalah kehendakNya, patut disyukuri, tak perlu dikeluhkan. KehendakNya jadi, maka jadilah!

Tetap melangkah terus menyongsong masa depan, dengan batin sepenuhnya menyerah kepadaNya. Kekuasaan Rabbnya akan menggantikan hati dan akal pikirannya. Kekuasaan Rabbnya yang akan membimbingnya, dan kekuasaan Rabbnyalah yang akan membebaskannya dari pada kekuasaan nafsu daya rendah. Kekuasaan Rabbnya yang akan membangkitkan jiwanya, sehingga kita akan hidup sebagai seorang manusia yang seutuhnya, bukan sekedar segumpal darah daging yang dijadikan boneka oleh nafsu daya rendah. Hanya kalau nafsu daya rendah yang membentuk si-aku tidak lagi menguasai diri, hanya kalau hati dan akal pikiran tidak lagi marajalela, jiwa akan mendapatkan kembali kontak dengan kekuasaan Tuhannya!

Kalau sudah begitu, kekuasaan Rabbnya akan bekerja dalam diri. Keadaan seperti ini tidak mungkin dapat ditimbulkan karena usaha pikiran, karena pikiran adalah si-aku, yang lapuk, si-aku yang mengaku-aku. Hanya dengan melenyapkan diri yang mengaku-aku, merendahkan dan mengecilkan diri, hanya dengan pasrah yang tulus ikhlas, maka diri lahir batin akan dibersihkan oleh kekuasaan Allah, kemudian kekuasaanNya akan bersemayam, membangkitkan jiwa. Hanya kalau sudah demikian, maka kita dapat hidup seutuhnya, bebas daripada cengkeraman nafsu daya rendah yang telah kembali kepada kedudukan dan tugasnya semula, yaitu menjadi alat dan pelayan.